Selasa, 09 Februari 2010

Definisi sistem dianggap berkaitan erat dengan pengertian berikut :

Suatu jaringan kerja atau elemen-elemen yang saling berhubungan, berkumpul bersama-sama untuk melakukan suatu kegiatan untuk menyelesaikan suatu tujuan tertentu.

SISTEM INTEGRASI TERNAK DENGAN TANAMAN PERKEBUNAN :

1. Abstrak

Integrasi sapi dengan kelapa sawit merupakan suatu sistem usahatani tanaman – ternak yang potensial dikembangkan di Indonesia karena didukung oleh luas pertanaman kelapa sawit sekitar 7 juta hektar dan kesesuaian adaptasi ternak sapi yang baik. Kebutuhan daging sapi yang sampai saat ini belum swasembada dan sebagian masih diimpor dapat ditingkatkan populasi dan produktivitasnya melalui integrasi dengan perkebunan kelapa sawit. Integrasi ini juga dapat meningkatkan efisiensi usaha pada perkebunan kelapa sawit. Sinergi positif yang dapat dicapai dari integrasi sapi dengan kelapa sawit adalah dapat menjamin suplai pakan bagi ternak sapi, penghematan penggunaan pupuk anorganik bagi tanaman kelapa sawit dan penghematan tenaga kerja dalam pengangkutan TBS kelapa sawit dan tenaga pencari rumput untuk pakan sapi. Dengan adanya integrasi, permasalahan limbah ternak sapi dan limbah kegiatan agribisnis kelapa sawit bukan saja dapat dikurangi atau dihilangkan sama sekali, namun juga memberikan nilai tambah bagi seluruh pelaku usaha. Usahatani integrasi ternak sapi dengan kelapa sawit ke depan juga dapat menyehatkan lahan-lahan pertanian melalui pengembangan penggunaan pupuk organik dan dapat meningkatkan nilai tambah produk CPO sebagai produk organik yang ramah lingkungan.

2. Pendahuluan

Sapi merupakan ternak penghasil daging utama di Indonesia. Konsumsi daging sapi mencapai 19% dari jumlah konsumsi daging nasional (Dirjen Peternakan, 2009). Konsumsi daging sapi cenderung meningkat dari 4,1 kg/kapita/tahun pada tahun 2006 menjadi 5,1 kg/kapita/tahun pada tahun 2007. Namun laju konsumsi ini tidak diimbangi dengan laju peningkatan populasi ternak (ketidakseimbangan antara supply – demand), sehingga diseimbangkan dengan impor daging sapi setiap tahun yang terus meningkat sekitar 360 ribu ton pada tahun 2004 menjadi 650 ribu ton pada tahun 2008 (Luthan, 2009).

Jumlah ternak ruminansia lokal Indonesia menurut laporan Direktorat Jenderal Peternakan cukup besar yaitu 11,86 juta ekor yang dikelola sekitar 4,6 juta Rumah Tangga Peternak (RTP). Namun sampai saat ini hampir 42% konsumsi daging dalam negeri masih diimpor. Diperkirakan pada tahun 2015, bila tidak dilakukan upaya-upaya yang serius maka hampir 55% konsumsi daging sapi masyarakat akan dibanjiri oleh produk bakalan impor dan daging impor (Luthan, 2009). Menurut Chaniago (2009), Indonesia menghabiskan devisa sekitar 5,5 trilyun rupiah pada tahun 2008 untuk mengimpor sapi bakalan 550.000 ekor, daging sapi beku dan jeroan sapi ribuan ton.

Untuk mengurangi ketergantungan pada impor sapi potong, Departemen Pertanian mengeksekusi program “Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi (P2SDS)” dengan target pemenuhan kebutuhan daging pada 2010 secara domestik sebesar 90 – 95%. Kegiatan yang dilaksanakan antara lain dengan mendistribusikan bibit sapi potong ke berbagai propinsi potensial untuk dikembangkan secara intensif. Idealnya peningkatan populasi sapi setidaknya mencapai 7% per tahun atau 15 juta ekor pada tahun 2008, namun kenyataannya populasi sapi pada tahun 2008 hanya dapat mencapai 11,9 juta ekor (Dirjen Peternakan, 2009).

Yang jadi pertanyaan, mengapa Indonesia saat ini dapat berswasembada beras maupun dapat mengekspor CPO namun mengeluarkan devisa yang sedemikian besar untuk mengimpor sapi, apakah pembangunan di bidang peternakan tidak menjadi perhatian untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat? Pertanyaan ini diantaranya dijawab oleh Handaka et al (2009) sebagai berikut: “dalam kebijakan pengembangan sistem usahatani di Indonesia, hanya terfokus pada peningkatan produktivitas tanaman, sedangkan komponen ternak terabaikan. Konsekuensi yang terjadi adalah hasil padi dan tanaman perkebunan meningkat secara tajam, sedangkan peningkatan produktivitas ternak stagnan atau relatif konstan. Hal ini ditambah dengan mahalnya penelitian on-farm bidang peternakan, kendala pemasaran pada peningkatan produksi dan adanya kepercayaan bahwa hanya usaha ternak komersial yang menguntungkan”.

Untuk itu diperlukan langkah-langkah pengembangan produksi peternakan diantaranya dengan usahatani sistem integrasi sapi – tanaman, khususnya dengan tanaman perkebunan. Hal ini didukung oleh data dari Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian (2009) bahwa potensi sumberdaya lahan untuk pengembangan pertanian di Indonesia sangat besar yaitu 100,7 juta ha yang limbahnya dapat mencukupi biomassa pakan sapi sepanjang tahun (1-3 ekor sapi/ha). Bila tidak dimanfaatkan, limbah pertanian akan menjadi masalah dan kendala dalam agribisnis, karena pada saat panen terbuang dan menjadi pencemar.

Keuntungan sistem integrasi tanaman – ternak menurut Handaka et al (2009) adalah: (1) diversifikasi penggunaan sumberdaya, (2) mengurangi resiko usaha, (3) efisiensi penggunaan tenaga kerja, (4) efisiensi penggunaan input produksi, (5) mengurangi ketergantungan energi kimia, (6) ramah lingkungan, (7) meningkatkan produksi, dan (8) pendapatan rumah tangga petani yang berkelanjutan. Sistem integrasi tanaman – ternak memadukan sistem usahatani tanaman dengan sistem usahatani ternak secara sinergis sehingga terbentuk suatu sistem yang efektif, efisien dan ramah lingkungan.

Menurut Chaniago (2009), tujuan integrasi kelapa sawit dengan ternak sapi adalah untuk mendapatkan produk tambahan yang bernilai ekonomis, peningkatan efisiensi usaha, peningkatan kualitas penggunaan lahan, peningkatan kelenturan usaha menghadapi persaingan global, dan menghasilkan lingkungan yang bersih dan nyaman.

3. Konsep Integrasi Tanaman – Ternak

Menurut Dirjen Peternakan (2009), secara garis besar integrasi terkait dengan sistem produksi ternak dibagi menjadi dua sistem yaitu:

  1. Sistem produksi berbasis ternak (solely livestock production system) yaitu sekitar 90% bahan pakan dihasilkan dari on-farm-nya, sedangkan penghasilan kegiatan non peternakan kurang dari 10%.
  2. Sistem campuran (mix farming system) yaitu ternak memanfaatkan pakan dari hasil sisa tanaman.

Dengan integrasi tersebut maka akan tercipta sentra pertumbuhan peternakan baru dimana komoditi ternak dapat saja menjadi unggulan (solely) atau komoditi ternak hanya sebagai penunjang (mix faming). Tetapi bisa saja terjadi, ternak yang tadinya sebagai unsur penunjang kemudian secara bertahap menjadi unsur utama atau sebalikya.

Perpaduan sistem integrasi tanaman dengan ternak, dicirikan dengan adanya saling ketergantungan antara kegiatan tanaman dan ternak (resource driven) dengan tujuan daur ulang optimal dari sumberdaya nutrisi lokal yang tersedia (Low External Input Agriculture Sistem atau LEIAS). Sistem yang kurang terpadu dicirikan dengan kegiatan tanaman dan ternak yang saling memanfaatkan, tetapi tidak tergantung satu sama lain (demand driven) karena didukung oleh input eksternal (High External Input Agriculture Sistem atau HEIAS) (Dirjen Peternakan, 2009).

Menurut Handaka et al (2009), sistem integrasi tanaman ternak adalah suatu sistem pertanian yang dicirikan oleh keterkaitan yang erat antara komponen tanaman dan ternak dalam suatu kegiatan usahatani atau dalam suatu wilayah. Keterkaitan tersebut merupakan suatu faktor pemicu dalam mendorong pertumbuhan pendapatan petani dan pertumbuhan ekonomi wilayah secara berkelanjutan. Sistem integrasi tanaman ternak dalam sistem usaha pertanian di suatu wilayah merupakan ilmu rancang bangun dan rekayasa sumberdaya pertanian yang tuntas.

4. Integrasi Ternak Sapi dengan Kelapa Sawit

Usahatani ternak sapi menghadapi tantangan penyusutan lahan sehingga produksi hijauan dan hasil samping pertanian yang dapat dijadikan pakan sapi juga ikut berkurang. Disisi lain, usahatani ternak sapi dituntut untuk terus memacu produksi untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri yang terus berkembang. Memacu produksi melalui pemberian konsentrat tidaklah ekonomis, karena harganya terlalu mahal dan terus naik, karena bahan bakunya sebagian diimpor dan bahan baku asal dalam negeri bersaing dengan kebutuhan lain. Untuk menghadapi tantangan tersebut, pengembangan usaha ternak sapi ke depan dapat bertumpu pada pemanfaatan hasil samping perkebunan, yang tidak lagi dianggap sebagai limbah, namun sebagai sumberdaya (Suharto, 2003).

Jika dianalisis secara umum, dapat diketahui bahwa integrasi sapi dengan kelapa sawit yang dapat dilakukan petani umumnya mengisi relung sistem pertanian integrasi atau semi komersial. Hal ini karena usahatani integrasi hanya dapat dilakukan oleh petani yang memiliki lahan kelapa sawit dan ternak sapi. Dari segi penguasaan modal produksi, petani pelaksana integrasi sapi dan kelapa sawit relatif memiliki taraf kehidupan yang lebih baik daripada petani subsisten.

Dukungan perusahaan perkebunan swasta maupun pemerintah melalui sistem inti-plasma dapat ikut mendukung usaha integrasi sapi dan tanaman perkebunan jika hal ini menjadi salah satu perhatian perusahaan. Petani yang memiliki/merawat kebun dapat saja mengintegrasikan kebunnya sebagai sumber pendapatan utama dengan ternak sapi yang dibantu melalui kredit lunak oleh perusahaan perkebunan (bagi petani plasma) maupun melalui program pemerintah (petani rakyat). Limbah tanaman perkebunan yang melimpah dapat dijadikan pakan ternak sapi, sebaliknya ternak sapi dapat menjadi tenaga kerja dan sumber pupuk organik bagi tanaman.

Melalui pola di atas, efisiensi usaha perkebunan meningkat melalui pengurangan pupuk kimia karena telah disubstitusi oleh pupuk organik yang dapat diolah dari kotoran sapi serta biaya angkut menjadi lebih murah karena dapat menggunakan sapi sebagai tenaga kerja, khususnya dari lokasi-lokasi kebun yang sulit dijangkau. Efisiensi usaha ternak dapat ditingkatkan melalui penyediaan pakan yang kontinyu dari limbah perkebunan, mudah dan murah diperoleh. Dengan demikian, masalah limbah, baik dari ternak sapi maupun dari kebun/pabrik dapat teratasi.

Pengembangan peternakan sapi terkendala oleh penyediaan pakan yang berkualitas karena semakin terbatasnya lahan untuk penggembalaan dan untuk penanaman hijauan makanan ternak. Oleh karena itu, Pemerintah melalui Program P2SDS mendorong agar usaha peternakan rakyat dapat diintegrasikan dengan usaha perkebunan atau pertanian pangan/hortikultura. Strategi ini penting karena usaha pertanian non peternakan menghasilkan limbah atau biomassa yang berpotensi sebagai sumber pakan bagi ternak, salah satunya berasal dari perkebunan kelapa sawit (Siahaan et al, 2009).

Selanjutnya Siahaan et al (2009) menambahkan bahwa tanaman kelapa sawit yang diintroduksi sejak tahun 1848 ke Indonesia, merupakan komoditas penting bagi Indonesia sejak awal tahun 1980-an. Bila daging sapi merupakan sumber protein hewani, kelapa sawit merupakan sumber utama minyak dan lemak nabati untuk pangan bagi penduduk Indonesia.

Kontradiksinya yaitu bila ternak sapi masih diimpor, minya sawit merupakan barang ekspor yang pada tahun 2008 volume ekspornya mencapai 13 juta ton (72,2%) dari volume produksi 18 juta ton dengan nilai ekspor 12 milyar dollar Amerika Serikat. Ketergantungan terhadap ekspor ini mempunyai potensi pelemahan terhadap viabilitas industri kelapa sawit. Terbukti bahwa penurunan harga yang terjadi dua tahun terakhir ini terkait dengan krisis finansial global telah memukul pelaku bisnis kelapa sawit, dan yang paling terpengaruh adalah petani skala kecil (smallholder) (Siahaan et al, 2009; Chaniago, 2009). Selain itu biaya produksi juga meningkat karena harga pupuk yang melonjak tinggi akhir-akhir ini, biaya tenaga kerja yang juga meningkat dan semakin besarnya penyediaan Tandan Buah Segar (TBS) ke pabrik yang berdampak pada harga jual yang cukup rendah. Diversifikasi usaha perkebunan sawit yang terintegrasi dengan usaha lain perlu dilakukan untuk mengurangi gejolak perubahan harga. Salah satunya adalah integrasi perkebunan kelapa sawit dengan peternakan sapi.

Chaniago (2009) melaporkan bahwa keuntungan integrasi sapi dengan kelapa sawit adalah diperolehnya output tambahan yaitu lebih banyak produksi TBS dan Crude Palm Oil (CPO) akibat pupuk organik, penghematan biaya pembuatan kolam limbah pabrik kelapa sawit, penghematan biaya transportasi TBS, penghematan biaya pupuk karena menggunakan pupuk organik sendiri, penghematan pembuatan dan pemeliharaan jalan, pertambahan bobot hidup sapi dengan biaya murah karena pakan limbah yang murah, dan kebersihan lingkungan.

Peternakan sapi di sekitar perkebunan kelapa sawit dimulai dalam bentuk penggembalaan bebas untuk memanfaatkan ketersediaan hijauan berbentuk gulma di bagian bawah tanaman kelapa sawit. Awaludin dan Masurni (2004) melaporkan bahwa pada tahun 2002, terdapat 214 perkebunan kelapa sawit di Malaysia telah melaksanakan sistem integrasi dengan 127.589 ekor sapi dalam program pengendalian hama terpadu pada kebun kelapa sawit. Hasilnya, usaha penggemukan sapi dapat menekan perkembangan gulma sampai 77% sehingga dapat menghemat biaya pengendalian gulma pada perkebunan kelapa sawit.

Di Indonesia, Pusat Penelitian Kelapa Sawit secara konservatif tidak menganjurkan penggembalaan, namun perkandangan pada integrasi sapi dengan kelapa sawit. Hal ini karena mengganggu pertanaman kelapa sawit seperti pengerasan tanah, kemungkinan sapi memakan pelepah muda tanaman sawit yang belum menghasilkan, disamping itu produktivitas sapi relatif rendah karena kurang terkendalinya kualitas dan kuantitas pakan (Siahaan et al, 2009).

Selain menghasilkan CPO sebagai komoditas utama, industri kelapa sawit juga menghasilkan beberapa jenis hasil samping yang potensial untuk digunakan sebagai bahan pakan ternak, yakni serabut mesokarp (palm press fibre/PPF), lumpur sawit (palm sludge/PS), bungkil inti sawit (oil palm frond/OPF), dan pelepah sawit (oil palm trunk/OPT) yang diperoleh dari kebun kelapa sawit. Gambar 2 menampilkan komposisi produk dan hasil samping pabrik kelapa sawit dan potensi pemanfaatannya sebagai pakan ternak

7. Simpulan

Beberapa simpulan dari integrasi sapi dengan kelapa sawit adalah sebagai berikut:

  1. Potensi pengembangan integrasi sapi dengan kelapa sawit masih sangat besar ditinjau dari luas kebun kelapa sawit di Indonesia yaitu sekitar 7 juta ha.
  2. Integrasi sapi dengan kelapa sawit dapat mendorong peningkatan populasi dan produktivitas sapi dan efisiensi usaha perkebunan sawit.
  3. Secara ekonomi, peningkatan populasi ternak sapi dapat mengurangi impor yang menghemat devisa negara, meningkatkan kelenturan agribisnis kelapa sawit dalam persaingan global.
  4. Sistem integrasi sapi dengan kelapa sawit memberikan tambahan pendapatan bagi petani peternak maupun pekebun dari hasil samping yang diperoleh (pakan, efisiensi tenaga kerja, penggunaan pupuk organik).
  5. Usahatani integrasi sapi dengan kelapa sawit ramah lingkungan dan berkelanjutan.